Pemamanan, Tradisi unik di Aceh Tenggara
Aceh terkenal dengan
Seni Budaya dan masyarakat yang religius serta mendapatkan predikat daerah
khusus dari pemerintahan pusat. Banyaknya suku yg berada disini, membuat seni
budaya dan adat istiadat juga beragam. Suku Aceh adalah suku yg terbesar di
Aceh. Namun selain suku Aceh, suku lain yg mendiami Aceh sejak dulu juga
beragam ada suku Gayo, suku Alas, Singkil, pak pak dan lainnya.
Ada beberapa seni
budaya dari Aceh yang sudah mendunia, seperti Tari Saman dari tanah Gayo dan
lainnya. Suku Gayo yg berada di kabupaten Gayo Lues, juga terkenal dengan pacu
kuda yg setiap tahunnya diadakan.
Berbeda dengan suku
alas, mereka menjadikan kuda sebagai media seni kebudayaan mereka. Suku alas
adalah suku yg terbanyak di kabupaten Aceh tenggara. Yang juga terdapat lokasi
wisata ternama, yaitu wisata gurah Ketambe di lingkungan Taman nasional gunung
Leuser. Paru paru dunia adalah julukan bagi gunung Leuser.
Suku alas terkenal
dengan istilah pemamanan, yang bermakna paman dari pihak ibu. Siapapun yg
mengadakan acara sunatan atau perkawinan, maka mereka akan mengundang pamannya
(saudara laki-laki dari ibunya.
Segerombolan orang
berpakaian adat Alas melintas di jalan raya, mulai anak-anak hingga orang tua,
laki-laki dan perempuan. Mereka membentuk iring-iringan. Sebagian ada yang
menunggang kuda. Sebagian lainnya mengiringi dari samping dan belakang. Mereka
pawai dari ujung jalan yang satu ke ujung jalan satunya lagi, melintasi jalan
umum, melewati rumah-rumah penduduk.
Istilah pemamanan tidak
lepas dari kata “paman” yakni laki-laki dari garis ibu—adik atau kakak ibu.
Artinya, masyarakat Alas mempercayai paman sebagai penanggung jawab atas
perhelatan pesta sunat rasul dan pesta nikah setiap keponakan mereka. Marwah
setiap paman dipertaruhkan untuk kesuksesan pesta tersebut.
Sumber Gambar : acehnews.net
Memberikan tunggangan
kuda kepada anggota keluarga keponakan merupakan bagian dari tradisi pemamanan.
Paman-lah yang mencari/menyewa kuda tunggangan untuk dipakai oleh keponakan
sekeluarga. Selain memberikan tunggangan kuda, si paman juga bertangung jawab
atas segala yang diminta dari pihak ibu keponakannya.
Sebagai contoh, Bu
Seulanga memiliki anak bernama Jeumpa. Tatkala Jeumpa akan menikah, Bu Seulanga
menjumpai paman Jeumpa. Kepada paman Jeumpa disampaikan rencana pesta nikah
Jeumpa. Tidak lama kemudian, di rumah paman dilangsungkan kenduri sederhana
untuk memanggil masyarakat kampung. Paman yang menyampaikan hajat dari keluarga
keponakannya kepada masyarakat kampung. Dalam tradisi ini ada proses
pengumpulan uang dari masyarakat kampung sebagai tanda gotong royong dan hidup
saling berdampingan.
Pengumpulan dana ikhlas
dari masyarakat kampung dilakukan oleh paman dalam sebuah hajatan kecil di
rumah si paman. Si paman mengundang orang kampung bermusyawarah di rumahnya,
lalu disampaikan tentang keponakannya yang akan melangsungkan pesta nikah. Di saat
inilah orang kampung akan memberikan dana ikhlas alakadar. Sumbangan orang
kampung bisa membantu—paling tidak—meringankan sedikit beban si paman.
Apabila pemamanan
dilakukan secara mewah, pihak keluarga memotong satu atau dua ekor lembu/kerbau
yang di masak secara gotong royong dengan masakan lainnya. Pada hari ketujuh
pemamanan, dilakukan acara selanjutnya berupa prosesi arak-arakan menaiki kuda
yang membawa "pengantin" sunat digelar. Kemudian rombongan keluarga
akan mendatangi rumah dari saudara ibu mereka yang menghadiahkan kuda. Jumlah
kuda yang menjadi hadiah disesuaikan dengan kesepakatan yang diinginkan orang
tua yang memiliki hajatan. Dan pada saat malamnya, "pengantin" sunat
kemudian dikhitan mantri. Setelah itu, "pengantin" sunat ditidurkan
diatas tilam yang kelambunya dibuat dari kain adat masyarakat Alas. Tilam berkelambu
tersebut berada di ruang tamu dengan diikatkan seutas tali diatas pada bagian
tengahnya, yang digunakan sebagai tempat menggantungkan pakaian adat yang telah
dipakai.
Sekilas, tanggung jawab
yang dinisbatkan kepada paman akan menjadi beban, baik beban ekonomi maupun
beban moral. Beban bagi paman yang ekonominya menengah ke bawah, tidak tertutup
kemungkinan ia akan berutang ke selingkar demi mengabulkan permintaan ibu
keponakan. Di sinilah martabat paman sangat disanjung-saji.
Beban ekonomi sejalan
dengan beban moral. Seorang paman yang tidak turut membantu tidak akan ditulis
namanya di “buku keluarga” yang menggelar pesta. Berapa pun atau apa pun bentuk
sumbangan si paman akan dicatat dalam “buku keluarga”. Di sini moral seorang
paman dipertaruhkan. Biasanya, tidak ada paman yang tidak mau menyumbang,
mengingat namanya akan dicatat di “buku keluarga” dan dibacakan dalam
musyawarah keluarga.
Menurut orang setempat,
perkara utang-piutang para paman selepas acara pemamanan sudah menjadi lumrah
sejak dulu kala, sejak tradisi pemamanan mulai ada dalam masyarakat Alas. Hanya
saja, bentuk pemberian paman berubah disesuaikan tuntutan zaman. Zaman dulu
belum ada yang minta kulkas. Seorang paman hanya menyediakan kambing atau
lembu. Sekarang, si paman kadang juga harus memberikan kulkas bahkan sepeda
motor, tergantung apa yang diminta oleh ibu yang menikah. Singkatnya, paman
adalah tulang punggung setiap keponakan.
Ada ubi ada talas, ada
bagi ada balas, begitulah tradisi Alas mengatur semua. Dalam kearifan suku
Alas, paman paling dimuliakan. Jika terdengar kabar paman akan berkunjung ke
rumah keponakannya, keluarga keponakan sibuk mempersiapkan segala hal sambutan
bagi si paman. Semua isi dapur, segala isi karung, segenap isi rumah akan
‘dikeluarkan’ untuk penyambutan paman. Paman lebih dimuliakan daripada pakcik
(adik ayah). Tentu saja hal ini bentuk berbalasan dari pemamanan.
Sumber :
- https://www.jkma-aceh.org/tradisi-pemamanan-dari-alas/
- id.wikipedia.org
Leave a Comment